ARTIKEL ISLAMI

BINGUNG MANA DULUAN : QURBAN ATAU AQIQAH?
Oleh: Ahmad Sarwat, Lc. MA.

Banyak orang yang bingung dan bertanya-tanya tentang perbandingan qurban dan aqiqah. Ada niat untuk berqurban tahun ini tetapi ada yang bilang harus aqiqah dulu. Karena konon kalau belum aqiqah nan
ti qurbannya tidak sah.
Oleh karena itu biar tidak sedikit-sedikit harus menjawab, maka saya tulis saja di facebook ini, biar yang lain juga bisa mengambil manfaat.
Sebenarnya baik aqidah atau pun qurban, keduanya sama-sama ibadah yang sunnah hukumnya dan tidak sampai kepada wajib.
Maka manakah yang harus diutamakan, sama-sama tidak ada yang harus diutamakan, karena posisinya sepadan, yaitu sama-sama tidak wajib. Artinya, kalau pun seseorang tidak menyembelih aqiqah atau pun qurban, sama sekali tidak berdosa.
A. Hukum Menyembelih Aqiqah
Memang kalau kita telusuri lebih jauh di dalam literatur ilmu fiqih, setidaknya kita akan menemukan ada empat pendapat yang berbeda tentang hukum menyembelih hewan aqiqah.
Tiga diantarnya tidak mewajibkan, hanya menyebutkan hukumnya sunnah muakkadah, mandub dan mubah. Satu-satunya yang berpendapat bahwa hukum menyembelih aqiqah itu wajib hanyalah pendapat mazhab Adzh-Dhzahiri.
Dalam fatwanya di kitab Al-Muhallabil Atsar, jilid 6 hal. 234, Ibnu Hazm mengatakan : Menyembelih hewan aqiqah adalah fardhu wajib, dimana seseorang dipaksa untuk melakukannya apabila dia mampu melakukannya.
Namun jumhur ulama dari empat mazhab yang muktamad, tidak ada satupun yang berpendapat untuk mewajibkan hukum menyembelih hewan aqiqah ini.
1. Sunnah Muakkadah
Mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa hukum menyembelih hewan aqiqah adalah sunnah muakkadah. Dan yang disunnahkan adalah orang yang menjadi penanggung nafkah dari bayi tersebut, baik ayah atau kakek atau siapa pun.
Landasan dalil yang dikemukakan oleh kedua mazhab ini antara lain :
عَقَّ رسول الله r عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا
Rasulullah SAW menyembelihkan untuk Hasan dan Husain masing-masing satu ekor kambing kibas. (HR. Bukhari)
Ada asumsi bahwa kenapa Rasulullah SAW yang menyembelihkan hewan aqiqah kepada cucunya dan kenapa bukan ayah mereka yaitu Ali bin Abi Thalib, karena keduanya ditanggung hidupnya oleh beliau SAW. Karena itulah kenapa beliau SAW yang menyembelihkan hewan itu.
Sesungguhnya bersama anak itu ada hak diakikahi, maka tumpahkanlah darah baginya (dengan menyembelih hewan) dan buanglah penyakit darinya (dengan mencukur rambutnya).(HR Bukhari)
2. Mandub
Mazhab Al-Malikiyah menegaskan bahwa menyembelih hewan aqiqah hukumnya mandub. Dan istilah mandub mirip dengan sunnah, tetapi levelnya sedikit di bawahnya.
Di antara dasar yang melandasi pendapat ini adalah hadits berikut :
Orang yang mendapat kelahiran bayi dan ingin menyembelih silahkan melakukannya. Buat anak laki-laki dua ekor dan buat anak perempuan satu ekor. (HR. Abu Daud)
3. Mubah
Mazhab Al-Hanafiyah tidak menyebutkan bahwa menyembelih hewan aqiqah itu sebagai sunnah atau mandub, melainkan hanya membolehkan saja. Dalam arti kata lain, bagi mereka
menyembelih hewan aqiqah di saat kelahiran bayi hukumnya mubah.
Karena dalam pendapat mereka, semua dalil tentang masyru'iyah penyembelihan hewan aqiqah ataupun bentuk-bentuk penyembelihan hewan lainnya sudah dihapuskan atau dinasakh, dengan pensyariatan penyembelihan hewan udhiyah atau hewan qurban.
Namun demikian, siapa yang masih ingin menyembelih hewan aqiqah tidak terlarang, hukumnya tetap masih dibolehkan, namun sudah tidak ada lagi anjuran atau perintah. Siapa yang mau melakukannya dipersilahkan. Dan bagi yang tidak mau tidak mengapa dan sama sekali tidak ada kerugian atau dosa dalam bentuk apapun.
Dasar penghapusan syariat aqiqah adalah fatwa dari Aisyah radhiyallahuanha yang berkata : Pensyariatan penyembelihan hewan udhiyah telah menghapus semua bentuk syariat penyembelihan yang sudah ada sebelumnya.

BATASAN USIA ANAK YANG DISEMBELIHKAN AQIQAH
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan maksmal masih berlakunya sunnah melakukan aqiqah. Menurut mazhab Malik, waktu aqiqah hanya sampai pada hari ketujuh. Bila telah lewat dari hari ke tujuh, sudah tidak disunnakan lagi.
Sementara menurut mazhab Hambali, jika aqiqah tidak bisa dilakukan pada hari ketujuh, maka masih bisa dilakukan pada hari keempat belas. Jika tidak juga bisa pada hari keduapuluh satu. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah ra.
Sedangkan yang lebih jauh adalah menurut madzhab Syafi'i. Mazhab ini mengatakan bahwa pelaksanaan aqiqah tidak mengenal batasan usia. Jadi boleh kapan saja hingga menjelang akhir hayat.
Namun demikian, dianjurkan untuk dilakukan sebelum anak tersebut dewasa. Dan hukumnya bukan wajib, tetap sunnah. Sehingga meski tidak dilakukan, tidak berdampak apapun.


Apa Yang Dimaksud dengan AQIQAH ?

Kata Aqiqah berasal dari bahasa arab. Secara etimologi, ia berarti 'memutus'. 'Aqqa wi¢lidayhi, artinya jika ia memutus (tali silaturahmi) keduanya. Dalam istilah, Aqiqah atau Akikah berarti "menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur kelahiran seorang anak berkat rahmat Allah SWT".
Aqiqah merupakan salah satu hal yang disyariatkan dalam agama Islam. Dalil-dalil yang menyatakan hal ini, di antaranya, adalah Hadits Rasulullah saw, "Setiap anak tertuntut dengan Aqiqah-nya'?. Ada Hadits lain yang menyatakan, "Anak laki-laki ('Aqiqah-nya dengan 2 kambing) sedang anak perempuan (Aqiqah-nya) dengan 1 ekor kambing'?. Status hukum 'Aqiqah adalah sunnah. Hal tersebut sesuai dengan pandangan mayoritas ulama, seperti Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Malik, dengan berdasarkan dalil di atas. Para ulama itu tidak sependapat dengan yang mengatakan wajib, dengan menyatakan bahwa seandainya Aqiqah wajib, maka kewajiban tersebut menjadi suatu hal yang sangat diketahui oleh agama. Dan seandainya Aqiqah wajib, maka Rasulullah saw juga pasti telah menerangkan akan kewajiban tersebut.
Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Laits, berpendapat bahwa hukum Aqiqah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan atas salah satu Hadits di atas, "Kullu ghuli¢min murtahanun bi 'aqiqatihi'? (setiap anak tertuntut dengan Aqiqah-nya), mereka berpendapat bahwa Hadits ini menunjukkan dalil wajibnya Aqiqah dan menafsirkan Hadits ini bahwa seorang anak tertahan syafaatnya bagi orang tuanya hingga ia di-'Aqiqah-i. Ada juga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya (masyri»'iyyat) Aqiqah, tetapi pendapat ini tidak berdasar sama sekali. Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa Aqiqah adalah sunnah.
Bagi seorang ayah yang mampu hendaknya menghidupkan sunnah ini hingga ia mendapat pahala. Dengan syariat ini, ia dapat berpartisipasi dalam menyebarkan rasa cinta di masyarakat dengan mengundang para tetangga dalam walimah Aqiqah tersebut. 

Mengenai kapan Aqiqah dilaksanakan, Rasulullah saw bersabda, "Seorang anak tertahan hingga ia di-Aqiqah-i, (yaitu) yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan diberi nama pada waktu itu'?. Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa Aqiqah mendapatkan kesunnahan jika disembelih pada hari ketujuh. Sayyidah Aisyah ra dan Imam Ahmad berpendapat bahwa 'Aqiqah bisa disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas ataupun hari keduapuluh satu. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sembelihan 'Aqiqah pada hari ketujuh hanya sekedar sunnah, jika 'Aqiqah disembelih pada hari keempat, atau kedelapan ataupun kesepuluh ataupun sesudahnya maka hal itu dibolehkan.
Menurut hemat penulis, jika seorang ayah mampu untuk menyembelih Aqiqah pada hari ketujuh, maka sebaiknya ia menyembelihnya pada hari tersebut. Namun, jika ia tidak mampu pada hari tersebut, maka boleh baginya untuk menyembelihnya pada waktu kapan saja. Aqiqah anak laki-laki berbeda dengan Aqiqah anak perempuan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sesuai Hadits yang telah kami sampaikan di atas. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa Aqiqah anak laki-laki sama dengan Aqiqah anak perempuan, yaitu sama-sama 1 ekor kambing. Pendapat ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw meng-Aqiqah- i Sayyidina Hasan dengan 1 ekor kambing, dan Sayyidina Husein '“keduanya adalah cucu beliau saw'” dengan 1 ekor kambing.
***
Wallahu A'lam.

Referensi utama : Tarbiyatul Awlid, DR. Abdullah Nashih Ulwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar